[TEASER/Sarang Clover Creepy Story] HIKING

05:09



HIKING

Mereka bisa mendengarnya walau kau membisikannya jauh di dasar hatimu.
(Based on true story on July 10th 2007th)


            Selasa pagi nan cerah. Hangat mentari mulai menyapa bumi yang mulai lenggang di pertengahan pagi ini. Sepagi ini kami sudah berkumpul di sini, di Sarang Clover. Markas kebesaran kami. Selasa ini adalah hari yang kami tunggu-tunggu. Hari yang sudah kami susun sebuah rencana sejak seminggu yang lalu. Hari dimana semua sekolah sedang libur. Hari libur di tengah minggu padat yang kami sepakati mengisinya dengan hiking.

            “Gini ni cewek. Janjinya jam delapan eh udah lewat setengah jam belum muncul. Hobi ngaret,” gerutu Ahmad kembali menengok pintu masuk.
            “Bentar lagi juga pada dateng,” sahutku santai sembari menyangklet tas punggungku kemudian membenahi topiku. “Yuk, sip!” imbuhku sambil membawa tongkat dari bambu siap berangkat.
            “Ngapain bawa tongkat? Kayak anak PRAMUKA aja,” tanya Mawan sedikit menyincingkan senyum melihatku membawa tongkat bambu.
            “Kita nggak tahu ntar bakal gimana di sana. Bambu efektif buat nakutin ular. Buat jaga-jaga aja sih. Moga-moga nggak ketemu apa-apa di bukit,” harapku.
            Ponselku berdering tanda pesan masuk. “Eh, yang lain udah nunggu di jalan. Yuk, kita susul,” ajakku pada dua panglima Sarang Clover Ahmad dan Mawan.
            Kami pun berpamitan meninggalkan Sarang Clover untuk memulai perjalanan panjang kami.
***

            Tak langsung berangkat. Kami berkumpul di depan kantor Veteran menunggu empat rekan yang lain. Ahmad kembali menggerutu karena nyatanya yang lain belum ngumpul di tempat ini. Nggak sesuai isi SMS yang dikirim.

            “Nah, itu mereka!” tuding Ahmad pada Ayu, Sasha, Shella dan Nuri.
            “Dasar cewek! Leletnya minta ampun,” Mawan geleng-geleng.
            “Mbak Sasha tuh lelet. Nyiapin bekal aja dua tahun lamanya. Aku sampek jamuran nungguinnya,” Ayu memberi penjelasan perihal keterlambatan mereka.
            “Bekal, makanan itu kebutuhan utama tahu! Nomer wahid! Kalo perut kosong, laper, nggak ada tenaga, bahaya itu. Kita mau jalan jauh ini. Naik bukit pula,” Sasha membela diri.
            “Udah? Berantem aja? Nggak jadi berangkat?” sela Ahmad dengan wajah kesal.
            “Perlengkapan kalian udah siap? Maksudku apa-apa yang bakal kalian butuhin buat masing-masing,” tanyaku memastikan.
            “Udah, Mbak.”
            “Sip, Mbak.”
            “Udah.”
            “Udah, Mbak.”
            Jawab Ayu, Sasha, Nuri dan Shella berurutan.
            “Nanti kalo misal kalian capek atau ada keluhan apa bilang ya. Terutama Nuri, Sasha, Shella. Ini pertama kalinya kalian ikut hiking kan?” tanyaku sambil memandang Nuri, Shella, Sasha. “Hiking tuh beda sama bersepeda.”
            “Iya, Mbak,” jawab ketiganya hampir bersamaan.
            “Ok. Yuk, ngumpul. Kita doa dulu,” pintaku.

            Kami pun segera membentuk lingkaran. Merangkul satu sama lain dan aku memimpin doa. Meminta perlindungan serta kelancaran hiking dari berangkat hingga pulang.

            “Sekali lagi, nanti di sana tolong jangan ngomong macem-macem. Pusung Keris masih wingit. Jadi sampai bukit tolong jaga sikap. Terutama kau Mawan,” aku menatap tajam Mawan yang terkadang ‘kodo[1]’. Maklum juga sebenarnya. Masih muda dengan jiwa muda yang terkadang merasa ‘sok paling’.
Ojo sampek sumbar[2]. Baik itu dalam hati!” tegasku.
            “Iya. Iya,” Mawan menyanggupi.
             Aku masih menatap Mawan tajam. Aku menghembuskan napas cepat. “Ok, aku percaya. Pokonya nanti saling menopang satu sama lain ya. Kalo ya capek ya bilang aja, kita ngaso[3] lalu jalan lagi, ok?”
            “Ok!” jawab kesemuanya kompak.
            “Ok. Yuk, kita berangkat. Bismillahirohmanirohim. Allohumasholli’allaa Muhammad!” seruku.
            “Allohummasholli alaih,” jawab yang lain serentak. Lantang dan kompak.

           Kami pun memulai perjalanan panjang itu. Jalan kaki menuju desa tetangga tempat dimana bukit Pusung Keris berada.
***

           Sekitar pukul Sembilan kami mulai berjalan kaki. Melawati satu desa pertama yang masih padat dan ramai. Setelah melewati desa pertama ini, selanjutnya kami hanya akan menemukan ladang dan hutan walau jalan utama yang kami lewati sudah beraspal. Karena acara hari ini adalah hiking dimana kami udah sepakat untuk jalan kaki dari rumah sampai atas bukit, maka kami menolak beberapa truk yang menawarkan tumpangan. Maklum tidak ada angkutan umum ke desa ini. Ada ojek, tapi mahal. Kalau mau ya nebeng truk atau pick up pengangkut pasir/sayur. Akhirnya jarak 5 KM itu kami tempuh dengan jalan kaki sepenuhnya.

           Desa pertama kami lewati. Kini yang adaa jalan utama nan sepi setelah kami melewati TPA yang katanya juga rada angker. Berhubung pagi hari, kami merasa aman saja melewati kawasan ini. Kalau pagi begini ladang juga lumayan berpenghuni. Tentu saja si pemilik atau buruh yang sedang bekerja mengolah ladang.

           Benar-benar pemandangan yang indah memanjakan mata kami sepanjang perjalanan. Pohon-pohon rindang, kebun tebu serta pohon berbunga kuning yang sedang bermekaran. Aroma bunga, alam dan rerumputan menyatu. Damai. Sepanjang jalan hanya ada kami bertujuh. Suara kami menggema menyatu dengan nyanyian hewan-hewan khas hutan, tongret dan kicauan burung. Sejuk. Tak hentinya aku menatap takjub walau sudah berulang kali melewati jalan ini.

           Akhirnya kami sampai di desa tujuan kami, Desa Ngadireso. Gapura selamat datang menyambut langkah kami. Mulai ada rumah lagi. Lega. Dan masih bersemangat menyusuri jalanan desa. Mengabaikan tatapan aneh warga yang melihat kami namun tak lupa memberi salam “monggo” sebagai tanda permisi kami warga asing masuk desa ini.

           Lumayan sepi. Mungkin karena sebagian besar penduduknya petani, jadi kampung-kampung di desa ini sepi di jam segini. Kami berhenti di tengah-tengah kampung. Di hadapan kami tersaji gagahnya bukit Pusung Keris yang akan kami daki.

           Lurus dari tempat kami ada jalan menuju bukit, namun Mawan menolak lewat jalan di tengah kampung itu. Menurutnya jalan itu adalah jalan utama menuju villa yang katanya sih berhantu. Menurut Mawan di jalan ini juga banyak anjing penjaga. Sontak aku menolak. Jujur aku takut anjing. Akhirnya kami sepakat memilih arah kanan dan kembali berjalan.
***

           “Beneran ini jalannya, Mawan?” tanyaku sangsi. “Katanya kamu punya temen di sini. Tanya sama dia aja. Perasaanku nggak enak tahu!”
            “Iya. Rumahnya deket sini kok,” Mawan tampak yakin. Tapi tetap saja aku meragukan anak ini.
            “Nah itu dia anaknya,” Mawan menghampiri seorang pemuda yang sedang jongkok menikmati rokok di depan sebuah rumah sederhana. Dia tampak ngobrol sejenak lalu kembali pada kami yang berdiri menunggu. “Bener. Lewat sini bisa,” kata Mawan.
            Aku yang kurang yakin maju menghampiri teman Mawan. “Beneran lewat sini bisa, Mas?” tanyaku memastikan.
            “Bisa, Mbak. Ikuti aja jalan yang ada. Lurus. Nanti sampai puncak,” pemuda itu dengan ekspresi tenang, namun aku jujur membuatku meragu. Tapi dia asli warga sini, mana mungkin aku meragukan petunjuknya.

           Aku pun berterima kasih. Kami kembali berjalan. Di sini lebih banyak warga. Mereka menyapa kami. Bertanya apa kami mau naik ke atas bukit. Berusaha seramah mungkin kami menjawab sapaan warga. Mereka pun membenarkan kalau lewat arah ini bisa membawa kami ke atas bukit. Ke puncak bukit.

           Usai melewati beberapa rumah warga dan sempat lewat di dekat kandang sapi dan kambing, kami menaiki jalan setapak. Mulai kembali hening. Yang terdengar hanya nyanyian tongret dan kicauan burung.

           “Tunggu!” aku yang berada diurutan kedua menghentikan langkah. Yang lain turut berhenti di jalan yang akan membawa kami jauh dari rumah warga. “Ingat. Jangan ada yang ngomong aneh-aneh baik di dalam hati,” aku kembali mengingatkan. Semua mengangguk. Aku agak lega melihatnya. Yang lain aku yakin mereka menurut, tapi sedikit ragu pada Mawan.
            “Yaudah. Yuk. Lanjut,” kataku kembali bersemangat. “Amet-amet Mbah Buyut, anak putu nonot liwat,” aku mengucap kata permisi untuk para penunggu hutan ini.Meminta izin untuk memulai perjalanan menaiki bukit Pusung Keris.
***


           Rerimbunan bambu menyatu dengan pepohonan di jalan menanjak. Rasa ngeri itu perlahan sirna. Sambil menaiki jalan menanjak itu kami saling bercerita. Membayangkan bagaimana nanti kami menghabiskan waktu di atas bukit. Menikmati bekal sekaligus menikmati panorama alam. Walau sering bermain ke desa ini, tepatnya berenang di kolam sumber air murni Umbulan, tapi untuk mendaki bukit Pusung Keris, ini yang pertama bagi kami. Kecuali Ahmad dan Mawan yang sama-sama mengaku pernah mendaki bukit ini sebelumnya. Aku tak hentinya tersenyum membayangkan betapa indahnya di atas bukit sana nanti.

           Jalan menanjak itu selesai kami daki. Kami sampai di jalan berbelok dimana di sisi kanan terdapat rerimbunan bambu sedang di sisi kiri rerimbunan kebun tebu. Jujur aku merinding. Sedang di depan kami tersaji lorong panjang. Jalan setapak yang kira-kira selebar satu meter dimana di kanan kirinya adalah rerimbunan kebun tebu. Mirip lorong di film-film horror.

           “Yakin ini jalannya?” tanyaku menghentikan langkah sambil mengusuk tengkuk.
            “Jumlah kita ganjil ya?” Ayu baru menyadari jika jumlah kami ganjil.
            “Aku udah bawa batu kok,” sahutku.
            “Oh, syukurlah,” Ayu kembali tenang. “Tapi beneran ini jalannya?” Ayu pun sama sepertiku sangsi.
            “Apa balik aja? Serem jalannya,” usul Nuri.
            “Nanggung udah nyampek sini. Tadi kan katanya kita di suruh ikuti jalan setapak ini kan? Kalo nggak belok-belok ya nggak nyasar,” kata Shella.
           Aku sendiri merinding menatap lorong panjang dan rimbun ini. “Ahmad, beneran ini jalannya? Kamu kan pernah kemari sebelumnya,” tanyaku pada Ahmad yang juga tampak kebingungan.
            “Masalahnya aku nggak lewat sini, Mbak,” jawab Ahmad.
            “Trus lewat mana?”
            “Jalan lain di ujung sana, jalan perbatasan desa ini. Jalannya susah tapi.”
            “Trus sekarang gimana?” tanya Sasha.
            “Mawan, beneran ini jalannya?” aku beralih pada Mawan yang kami andalkan sebagai penunjuk jalan.
            “Nggak tahu. Aku nggak pernah lewat sini,” jawab Mawan enteng dengan wajah tak berdosa.
            Aku sudah menduganya. Tapi hanya bisa menghela napas menanggapi sikap Mawan. “Trus sekarang gimana?” aku menepis kesalku.
            “Kita jalan aja. Ngikutin petunjuk tadi. Kalau ntar ujungnya buntu, ya kita balik aja. Gimana?” usul Ahmad.

           Semua setuju. Kami pun kembali berjalan. Jujur, berjalan di lorong alami ini membuatku bergidik. Walau siang hari, redup di lorong ini. Sinar matahari tak bisa menembus rerimbunan. Aku berjalan di urutan kedua dari belakang dan semakin memegang erat tongkatku. Bukan hanya suasana yang bikin ngeri dan bergidik. Aku pun was-was takut tiba-tiba ada anjing muncul. Atau parahnya ular. Kebun tebu identik dengan ular cobra. Hal ini cukup membuatku ciut nyali. Tapi aku yang paling tua, tentu nggak boleh nunjukin rasa takut di depan adek-adekku. Terlebih pada Sasha, Nuri dan Shella yang baru pertama kali ikut kegiatan kami ini.
***

           “Astaghfirullah!” aku kaget saat menemukan pintu gerbang usang di tengah lorong. Kami berhenti.

           Merinding menatap pintu besi usang itu terkunci rapat. Kebun tebu di beri pintu pagar besi? Untuk apa? Tanyaku dalam hati. Toh siapa juga yang mau nyuri tebu? Aku kembali mengusuk tengkukku.

           “Lanjut nggak nih?” tanya Ahmad.

           Ngeri juga berhenti di tengah-tengah lorong seperti ini. Aku kembali menoleh ke arah kiri. Kami lumayan jauh berjalan. Lalu mengalihkan pandangan ke arah kanan. Masih lumayan jauh untuk sampai di ujung lorong ini. 50:50 untuk maju terus atau kembali mundur.

           “Kita apa nggak salah jalan?” tanyaku.
            “Entahlah. Tapi lihat di sana. Cahayanya terang, pasti di sana ada jalan,” tuding Ahmad ke arah kanan. “Balik pun udah separo jalan.”

            Kami sedikit berpindah dari pintu pagar usang yang benar membuatku bergidik tiap kali menatapnya. Masih berhenti merundingkan untuk maju atau mundur.

            “Eh, ada orang,” bisik Mawan.

            Kami semua menoleh ke arah kanan. Mungkin karena kami terlalu serius berunding hingga tak menyadari kemunculan nenek yang berjalan sambil membawa kayu bakar di atas kepalanya ini. Nenek-nenek yang sedang nyuwun kayu bakar ini berjalan pelan semakin dekat pada kami. Aku lega tapi juga ngeri. Lalu Ahmad menghampiri nenek itu dan bertanya dengan sopan. Aku turut mendekat. Kuperhatikan nenek ini. Ada yang janggal. Entah kenapa aku merasa ngeri melihatnya. Kedua matanya tajam dan sedikit merah warnanya. Aku tak kuasa beradu pandang dengan nenek ini, tapi rasanya tak sopan membuang pandangan saat nenek ini memberi petunjuk.

            Usai bertanya, kami tak lupa berterima kasih. Kami kembali berjalan. Begitu pula nenek itu.

            Pokoknya kalo udah sampai ujung jalan ini, kalian belok kiri. Nanti ada tebu yang habis diroges. Kalian masuk sana dan lurus terus. Disitulah puncak bukit ini.

            Penjelasan nenek itu kembali terniang di telingaku.

           “Pokoknya lurus saja ya. ke kiri!” seru nenek itu membuyarkan lamunanku.

           “Inggih, Mbah,” balas kami berseru hampir bersamaan.

           Setelah cukup lama berjalan, aku penasaran dan menoleh. Nenek itu tak ada. Padahal jika menurut perhitungan jarak tempuh kami sama. Kami memiliki langkah lebih cepat dibanding nenek itu. Tak mungkin nenek itu sampai di belokan secepat itu.

           “Nenek itu ilang,” celetukku.

           Mendengarnya para gadis; Sasha, Shella, Nuri kompak menjerit dan berlari lekas menuju ujung lorong. Sampai-sampai kami; aku, Ahmad, Mawan dan Ayu turut berlari menyusul. Kami terengah-engah sampai di ujung. Melegakan. Di sini lebih terang namun hening. Sepi di sana-sini tak kalah ngeri dari lorong yang baru saja kami lewati. Tak ada apa pun di sini. Sedikit tanah lapang dan tetap deretan tebu di sana-sini.

           “Bak truk sampah?” gumamku menemukan bak truk sampah tergeletak usang tak jauh dari kami. Bak truk sampah sebesar itu bisa ada di atas bukit ini? Bagaimana caranya? Di lewati motor saja susah jalan ini, apalagi truk. Aku kembali bergumam namun dalam hati.

           “Kita ke arah kiri kan?” tanya Ahmad membuyarkan lamunanku.

           Aku menoleh ke arah kiri. Rerimbunan tebu. Lebih padat. Celah dari deretan tebu yang mebentuk jalan yang bisa kali lewati hanya cukup untuk satu orang. Aku menelan ludah melihatnya. Aku takut anjing. Aku takut ular cobra. Bagaimana ini?

           “Yaudah, kamu mimpin di depan. Mawan, kamu di tengah. Aku paling belakang,” kataku menyetujui.
            “Aku di depan kamu aja Mbak,” pinta Ayu dan aku setuju.

           Bismillah. Batinku sembari kembali berjalan menyusul langkah yang lain.
***

           Ini lebih merepotkan. Jalan yang sempit, daun tebu yang tajam. Untung aku memakai baju lengan panjang. Aku menggunakan tongkatku untuk memilah perdu rumput yang lumayan mengganggu jalan kami. Rasanya lama sekali menyusuri jalan di tengah-tengah kebun tebu ini. Aku semakin was-was. Aku takut ular cobra.

           “Wowowow!” Ahmad serta merta menghentikan langkahnya. Spontan semua turut berhenti.
            “Ada apa?” teriakku dari belakang.
            “Curah! Jalan buntu!” seru Ahmad.

           Aku penasaran. Berasama Mawan aku maju. Dan betapa terkejutkntya ketika sampai di samping Ahmad. Di depan kami jurang. Curah yang tajam. Entah jadi apa jika kami terjatuh ke sana.

           “Awas! Tanahnya gembur!” seru Ahmad.
            Tanah di depan kami longsor. Kami mundur dua langkah. Di dalam hati aku mengumpat. Apakah kami sengaja disesatkan?
            “Sekarang gimana..?” tanya Sasha panik.

           Walau tak berbicara, kepanikan itu juga tersirat di wajah Nuri dan Shella. Melihatnya aku merasa bersalah. Aku ceroboh dalam menyusun rencana. Bagaimana jika kami tak bisa keluar dari tempat ini?

           “Mbak, pinjem tongkatnya,” lagi-lagi Ahmad membuyarkan lamunanku.
            Tanpa bertanya untuk apa, aku menyerahkan tongkat bambuku pada Ahmad.
            “Ayo ikut aku!” Ahmad kembali berjalan memimpin.

           Kami mundur sekitar tiga langkah lalu mengambil jalan kea rah kiri. Kami mengikuti saja langkah Ahmad. Secepat mungkin kami bergerak menembus rerimbunan pohon tebu yang mengerumuni kami di sana-sini.

           Kami menemukan menemukan selokan. Masih tanah yang rapuh dimana kami harus melewatinya. Mendaki selangkah lebih tinggi dari tempat kami berada. Melompati selokan air yang kering kerontang itu. Saling membantu kami melewati selokan itu. Naik ke tanah yang lebih tinggi dari tempat kami berada sebelumnya. Sedikit kesulitan pada giliran Sasha menyeberang. Alhamdulillah, kami semua bisa melompat ke seberang.

           “Woa! Kayak gini pohon klandingan itu?” gumamku sembari menatap takjub pohon klandingan. Tanaman sejenis petai cina.
            “Dih, liat pohon klandingan kayak liat harta karun aja pean ini Mbak,” olok Mawan.
            “Ini langka tahu! Pohon klandingan itu langka. Katanya cuman ada di hutan dan nggak sembarang orang yang bisa ketemu pohon klandingan. Katanya sih gitu,” terangku panjang lebar sembari turut berjalan.
            “Woa!” aku kembali takjub saat sampai di tempat dimana yang lain berhenti. “Ini puncaknya…? Subhanallah…” gumamku takjub. “Alhamdulillah.”
***

Girang bukan kepalang. Akhirnya kami menemukan puncak bukit Pusung Keris. Kami berhasil mendaki bukit Pusung Keris. Aku tersenyum lega. Anak-anak kegirangan. Aku mengamati sekitar. Tak jauh dari tempat kami berdiri ada sebuah pagar yang rapat namun tampak lusuh. Di dalam pagar sana tampak sebuah bangunan.

“Itu villanya?” tanyaku lirih.
“Iya. Itu villa yang katanya berhantu,” Ahmad membenarkan.
“O’ow! Ini bukan ide bagus. Sebaiknya kita lekas pergi dari sini,” aku kembali mengamati padang savanna ini. “Dimana jalan turun?” aku melayangkan pandangan.
 Shella melihat seseorang jauh di bawah sana. “Lek, jalan turun dari sini dimana ya?” tanya Shella berteriak.

Kami tak bisa mendengar jelas ucapan pria itu. Tapi dari gerakan tangannya kami paham jika pria itu meminta kami untuk segera turun.

Tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing. Tak hanya satu tapi banyak. Bukan hanya aku yang berubah panik. Yang lain pun sama. Satu anjing berukuran kecil muncul dan siaga. Menggonggong ke arah kami.

“Semua jongkok!” seruku ketika teringat pesan bapak.

Kalau ada anjing jongkoklah dan tunggu sampai anjing itu tenang lalu perlahan beranjaklah pergi. Jangan sampai berlari atau anjing itu mengejarmu.

Kami semua jongkok. Anjing itu masih siaga. Gonggongan lain masih terdengar.

“Dia manggil temen-temennya,” bisik Nuri ketakutan.
“Nggak ada pilihan. Kita harus melorot turun di sini,” kata Ayu.
“Melorot…?” tanyaku melotot.
“Ini ada jalan, Mbak,” kata Ayu yang paling dekat lereng. “Aku bisa buat jalannya. Sini tongkatnya!” pinta Ayu pada Ahmad.

Ayu segera membuat jalan, secepat ia bisa menebas rerimbunan yang manghalanginya. Kami semua masih jongkok. Anjing kecil itu pun masih siaga. Sedang anjing yang lain terus menggonggong. Mencari celah untuk keluar pagar.

“Jadi!” seru Ayu. “Aku turun duluan,” perlahan Ayu turun. “Ayo, Mbak! Melorot saja!” serunya. “Aman kok!”
Aku takut ular. Rerimbunan ini. Aku takut ular.  Batinku. Aku ragu untuk melorot turun. Tapi bertahan di atas sini sama saja bunuh diri.
“Mbak turun duluan. Mana tongkatnya. Mbak sama Ayu cari jalan. Aku bantu Nuri sama Shella turun. Mawan, kamu bantu Sasha,” Ahmad dengan cepat membagi tugas.
“Apa…? Aku membantu Sasha…?” Mawan melotot pada Ahmad lalu melirik Sasha. “Masak iya aku yang ngebantu gajah ini?” gumam Mawan lirih.
“Nggak ada waktu lagi. Aku turun,” aku menepis rasa takutku dan melorot turun. Mengabaikan bunyi di antara semak belukar yang bisa saja itu adalah pergerakan ular.

Aku sampai di bawah. Ayu sudah bergerak mencari jalan. Aku kembali mendongak. Melihat Ahmad membantu Shella lalu Nuri. Dua gadis ini bergantian melorot. Aku membantu keduanya. Kami sama-sama kembali mendongak melihat Ahmad dan Mawan yang bekerja sama membantu Sasha.

“Jangan manja Sha! Kamu mau dikeroyok anjing?” seru Nuri kesal melihat sikapn manja Sasha.
Akhirnya Sasha berhasil turun disusul Ahmad dan paling belakang Mawan.
“Bayi gajah ini nyusahim aja!” Mawan menggerutu kesal saat sampai di bawah.
Aku lega. Kami semua berhasil turun dari puncak yang mengerikan itu.
“Mbak, lewat sini,” panggil Ayu yang menemukan jalan setapak.
***
             Kami kembali berjalan dan bertemu dengan seorang kakek yang sedang mencari kayu.

“Maaf, Kek. Jalan ke Umbulan lewat mana ya?” tanyaku sopan menghampiri.
Kakek ini menghentikan kegiatannya dan menatap heran pada kami. “Kalian dari mana?” tanyanya masih keheranan.
“Dari puncak sana,” jawabku turut meragu.
“Kok bisa kalian di sana? Bagaimana kalian turun tadi?”
“Melorot, Kek.”
Kakek itu menggeleng pelan. “Kalian ikuti jalan ini. Jangan belok-belok. Nanti kalian sampai di Umbulan. Ikuti saja jalan ini.”

Kami pun manut. Jalan mengikuti jalan setapak ini. Samar-samar kami mendengar ramai suara anak-anak khas di Umbulan.

“Kita sudah dekat!” seruku riang. “Oh!” aku sedikit kaget menemukan tempat ini.

Tempat dimana ada tiga pohon besar dan sebuah batu di tengahnya. Tempat yang sangat bersih dan asri dipercantik dengan adanya bunga Bougenville yang sedang berbunga lebat. Inilah tempat yang disebut Danyangan. Tempat yang dikeramatkan.

“Nuwun sewu Mbah Buyut, anak putu nutut liwat,” aku kembali berbisik mengucap salam dan permisi.

Yang lain yang berjalan di belakangku turut bergumam demikian. Aku tersenyum lega. Kami sampai di Umbulan. Kolam renang yang dibuat dari sumber mata air alami dan terbuka bebas untuk umum. Kami beristirahat di sini. Memakan bekal kami dan setelah lelah kami hilang, kami pun berenang bersama. Kakiku sempat kram di tengah kolam. Untung tak sampai tenggelam di kolam.

Puas berenang, kami pun kembali berajalan pulang. Lelah. Bekal pun telah habis. Air pun habis. Tak ada toko. Kami berharap mendapat tebengan. Namun jalanan sepi. Kami berjalan sampai di Sumber Sono. Kami turun ke sumber untuk minum. Melepas dahaga kami usai berjalan di tengah hari yang terik. Tak hanya minum, kami pun mengisi botol kosong dengan air sumber. Perjalanan kami tinggal separo dan matahari cukup terik. Kami yang lelah tak boleh kehausan.

Setelah melepas lelah sejenak di Sumber Sono yang teduh, kami kembali naik ke atas. Beruntung ada truk pengangkut gamping lewat. Kami diberi tumpangan sampai di depan Sarang Clover. Kami terbahak bersama karena ketika turun, wajah dan rambut kami berubah putih karena debu gamping.

Benar-benar perjalanan yang berat, penuh tatangan tapi juga menyenangkan.
***

Malam harinya aku menuturkan cerita ini pada Tunjung. Teman kami yang tergolong “abnormal”. Tunjung tersenyum simpul mendengar ceritaku.
“Bukannya aku sudah berpesan kalau terjadi apa-apa atau semacam kau kebingungan, lepas sepatumu. Biarkan kakimu menyentuh bumi. Maka semua akan kembali jelas,” tutur Tunjung.
Baru aku teringat pada pesan Tunjung itu. “Aku lupa. Blank. Suer jadi blank,” kataku dengan tampang bego.
“Wuni, Wuni,” Tunjung tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.

Iya aku percaya pada apa yang dikatakan Tunjung. Mereka bisa mendengar apa yang kau katakan walau itu dalam hati. Karenanya jangan berkata macam-macam walau itu di dalam hati. Entahlah. Apa yang menyebabkan kami mengalami hal itu saat hiking. Mungkin mereka merasa terusik karena kedatangan kami yang kurang sopan hingga mereka memberi kami pelajaran. Aku bersyukur kami bisa pulang dengan selamat.




[1] Kodo: kurang sopan.
[2] Ojo sampek sumbar: jangan sampai berkata seolah hebat.
[3] Ngaso: istirahat sejenak.

tempurung kUra-kUra
shytUrtle

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews